Setahun Prabowo-Gibran: Keterlibatan Militer di Dunia Siber Jadi Sorotan

foto/istimewa

sekilas.co – DIREKTUR Kebijakan Publik Raksha Initiatives, Wahyudi Djafar, menyoroti keterlibatan militer di ranah digital. Wahyudi menilai bahwa ancaman terhadap hak asasi manusia di ruang siber terlihat dari revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang mencantumkan penanggulangan ancaman siber sebagai salah satu tugas pokok operasi militer selain perang (OMSP).

Dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b disebutkan bahwa salah satu jenis OMSP adalah “membantu dalam upaya menghadapi ancaman pertahanan siber.” Menurut Wahyudi, pertahanan siber ini berfokus pada ancaman di ruang siber terhadap aset negara yang dilakukan oleh aktor negara, bukan oleh aktor non-negara.

Baca juga:

“Artinya, responsnya adalah respons perang. Namun, mengapa dalam Undang-Undang TNI bahasa yang digunakan justru ‘membantu’, dan kualifikasinya termasuk operasi militer selain perang?” ujar Wahyudi dalam diskusi hukum dan hak asasi manusia bertajuk Refleksi Satu Tahun Prabowo-Gibran, di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, pada Ahad, 19 Oktober 2025.

Padahal, lanjutnya, militer seharusnya terlibat dalam aspek pertahanan siber hanya ketika situasi telah memasuki ranah perang atau konflik siber. Dalam hal ini, pertahanan ditujukan pada instalasi siber yang terancam dan berdampak pada aset negara.

“Jadi, bukan operasi militer selain perang, bukan sekadar ‘membantu’, tetapi memang menjadi tugas ketika terjadi serangan siber dari negara lain yang mengancam infrastruktur siber kritis,” ujar Wahyudi.

Ia menuturkan, diksi yang digunakan dalam Undang-Undang TNI justru membuka ruang bagi militer untuk terlibat terlalu jauh dalam menangani aspek yang kemungkinan tidak berkaitan dengan pertahanan dalam perang siber.

Revisi Undang-Undang TNI disahkan oleh DPR pada 20 Maret 2025. Tahap pembahasan revisi itu hanya berlangsung selama dua pekan dan diwarnai protes publik karena dianggap tidak melibatkan partisipasi secara bermakna. Undang-Undang TNI menjadi produk hukum yang paling banyak digugat ke Mahkamah Konstitusi.

Selain itu, Wahyudi menyoroti usulan pelibatan militer dalam tata kelola keamanan dan ketahanan siber dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Keamanan dan Ketahanan Siber. Dalam usulan itu, TNI diharapkan terlibat dalam proses penegakan hukum terkait keamanan dan ketahanan siber.

Ia menegaskan bahwa ketahanan dan pertahanan adalah dua hal yang berbeda. Ketahanan merujuk pada resiliensi, yakni situasi ketika keamanan dapat dijaga secara berkelanjutan. “Resiliensi ini berbeda dengan defense (pertahanan),” ujar Wahyudi.

Pertahanan berkaitan dengan serangan dalam bentuk ancaman perang. Yang menjadi persoalan, menurut dia, adalah upaya melibatkan militer dalam penanganan aspek-aspek yang seharusnya masuk domain keamanan dan ketahanan siber. “Padahal itu merupakan ruang yang menjadi domain sipil,” ucap Wahyudi.

Ia berpendapat bahwa rencana pelibatan TNI di ruang siber seharusnya tidak dilakukan melalui RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, melainkan lewat revisi Undang-Undang tentang Pertahanan Negara.

Lebih jauh, Wahyudi menyinggung bahwa RUU KKS tidak berfokus untuk melindungi warga negara, melainkan hanya bertujuan melindungi keamanan negara. Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa RUU tersebut bersifat state-centric. “Padahal kebijakan keamanan siber yang baik harus human-centric,” ujar Wahyudi.

“Sekalipun serangan siber sangat canggih dan merusak sistem elektronik, pada akhirnya dampak yang paling dirasakan adalah manusia,” tambahnya. Ia menegaskan, kebijakan keamanan siber yang baik harus mampu melindungi perangkat, jaringan, hingga individu.

Saat ini, Kementerian Hukum telah menyusun draf RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, tetapi draf itu belum final. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan bahwa posisi draf RUU KKS masih dalam tahap harmonisasi antar-kementerian.

Wakil Ketua Komisi I DPR, Dave Laksono, menegaskan bahwa RUU KKS belum secara resmi masuk ke DPR untuk dibahas. Karena itu, publik diminta tidak terburu-buru menilai rancangan yang saat ini beredar.

“Hingga saat ini, RUU KKS belum secara resmi masuk ke DPR untuk dibahas. Dengan belum dimulainya pembahasan formal, seluruh isi dan ketentuan dalam draf tersebut masih bersifat awal dan belum memiliki landasan pembahasan yang sah,” kata Dave dalam keterangan tertulis pada Selasa, 7 Oktober 2025.

Artikel Terkait