PKS Inisiatif Revisi UU Hak Cipta untuk Cegah Kekosongan Hukum

foto/istimewa

sekilas.co – ANGGOTA Badan Legislasi DPR, Yanuar Arif Wibowo, mendorong revisi menyeluruh terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Tujuannya adalah untuk menghadirkan kepastian hukum sekaligus memperjelas tata kelola royalti musik.

Legislator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menyoroti kerancuan pengelolaan royalti musik yang kerap menimbulkan konflik antara pencipta, penyanyi, pelaku industri, hingga UMKM yang memutar musik di ruang publik. “Penyanyi tidak diuntungkan, pencipta tidak diuntungkan, industri tidak diuntungkan. Lalu siapa yang sebenarnya diuntungkan? Karena itu regulasi ini harus kita rapikan,” ujar Yanuar dalam keterangan tertulis, Rabu, 12 November 2025.

Baca juga:

Menurut Yanuar, polemik royalti musik terjadi karena kekosongan regulasi dan ketidakjelasan peran Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Oleh karena itu, revisi Undang-Undang Hak Cipta harus memperbaiki ekosistem tata kelola royalti untuk mencegah ketidakpastian hukum.

Dia juga mengkritik masih adanya tindakan hukum berupa somasi terhadap pelaku usaha terkait polemik royalti musik. Ia meminta aparat penegak hukum menunda proses somasi selama revisi Undang-Undang Hak Cipta dibahas. “Kami moratorium sampai revisi undang-undang ini selesai,” ujarnya.

Polemik royalti lagu sempat ramai diperbincangkan ketika Kepolisian Daerah Bali menetapkan Direktur PT MBS, I Gusti Ayu Sasih Ira, sebagai tersangka dugaan pelanggaran hak cipta. Dugaan ini terkait pemutaran lagu tanpa pembayaran royalti di gerai Mie Gacoan, Denpasar, Bali, di mana Ira dianggap bertanggung jawab. Kasus tersebut dilaporkan oleh LMK Selmi pada Agustus 2024.

LMK Selmi mengaku telah memberikan pemberitahuan, somasi, dan mengajak PT MBS untuk mediasi sebelum melapor ke polisi, namun tidak ada respons dari PT MBS. Pada 8 Agustus, kedua pihak sepakat untuk berdamai.

Yanuar menekankan, sebagai negara berlandaskan Pancasila, Indonesia memiliki pendekatan berbeda dengan negara lain yang menekankan hak cipta secara kaku dan keperdataan penuh.

“Urusan royalti sangat kuat aspek keperdataannya, makanya harus jauh dari unsur pidana. Kami tidak ingin UMKM yang cuma memutar musik malah disomasi dan dipidanakan,” katanya.

Saat ini, Badan Legislasi (Baleg) DPR tengah membahas revisi Undang-Undang Hak Cipta. Baleg menggelar rapat harmonisasi dengan berbagai pihak pada Selasa, 11 November 2025, termasuk mengundang pengurus Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI).

Dalam rapat itu, Ketua AKSI, Satrio Yudi Wahono alias Piyu, mengusulkan agar revisi UU Hak Cipta mengatur royalti dengan sistem hibrid yang berkeadilan. Sistem ini memungkinkan pencipta lagu memperoleh hak royaltinya tanpa harus menunggu lama.

“Ini berbanding terbalik dengan para pelaku pertunjukan yang sebelum tampil sudah harus dibayar,” kata Piyu, merujuk ketentuan dalam Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Tahun 2016. Ia berharap distribusi royalti kepada pencipta dapat dilakukan secara langsung atau tidak lama setelah konser selesai.

Artikel Terkait