Sekilas.co – Pemerintahan Prabowo Subianto dinilai tengah berupaya menormalisasi kembali warisan rezim otoritarian Orde Baru, sebuah periode yang selama 32 tahun dikenal dengan stabilitas politik semu, pembangunan yang terpusat, serta pembungkaman terhadap kritik. Indikasi upaya normalisasi itu terlihat dari rencana pemerintah untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden Soeharto.
Kebijakan tersebut memunculkan perdebatan publik yang luas karena menyentuh persoalan sejarah, moralitas kekuasaan, hingga tanggung jawab atas berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan yang terjadi di masa pemerintahannya.
Soeharto, sebagai tokoh sentral Orde Baru, memang memiliki catatan panjang dalam membangun infrastruktur dan ekonomi nasional, namun keberhasilan itu tidak dapat dilepaskan dari sistem pemerintahan yang mengekang kebebasan politik serta menempatkan rakyat sebagai objek pembangunan semata.
Di bawah kendali kuat negara, seluruh kebijakan diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi cepat, yang dalam praktiknya sering kali dilakukan dengan mengorbankan keseimbangan lingkungan dan keadilan sosial. Model pembangunan seperti ini menimbulkan kesenjangan, memperparah kerusakan ekosistem, serta membuka ruang luas bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Ketika pemerintah Prabowo berencana memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, hal itu dinilai bukan sekadar penghargaan simbolik, melainkan juga bentuk legitimasi politik terhadap warisan model pembangunan Orde Baru.
Pemberian gelar ini dapat dibaca sebagai upaya untuk merehabilitasi citra Soeharto dan menempatkannya kembali dalam narasi positif sejarah nasional. Di sisi lain, langkah tersebut berpotensi mengaburkan fakta-fakta kelam yang terjadi di bawah kekuasaannya, seperti represi politik, penghilangan aktivis, serta eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampak ekologis dan sosialnya.
Salah satu aspek penting yang kerap terlupakan dari masa Orde Baru adalah apa yang disebut sebagai “dosa ekologi” Soeharto, yaitu rangkaian kebijakan pembangunan yang mengabaikan keseimbangan alam. Melalui proyek-proyek besar seperti pembukaan lahan skala luas untuk pertanian dan perkebunan, eksploitasi tambang, hingga pembangunan waduk dan jalan lintas hutan, pemerintah kala itu mendorong kerusakan ekosistem yang masif.
Kebijakan tersebut tidak hanya menghancurkan keanekaragaman hayati, tetapi juga menggusur masyarakat adat dari wilayah leluhur mereka dan mempersempit ruang hidup komunitas pedesaan yang bergantung pada alam.
Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kebijakan Orde Baru tidak berhenti pada masa pemerintahan Soeharto, melainkan masih terasa hingga kini. Banyak kawasan hutan tropis di Kalimantan, Sumatra, dan Papua mengalami degradasi parah akibat pembukaan lahan besar-besaran yang dimulai sejak era tersebut.
Dampaknya, bencana ekologis seperti banjir, kebakaran hutan, dan hilangnya sumber air bersih menjadi persoalan rutin yang diwariskan kepada generasi setelahnya. Ironisnya, paradigma pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa keseimbangan lingkungan masih menjadi inspirasi bagi sebagian elite politik masa kini.





