Gelar Pahlawan untuk Soeharto Tuai Kritik YLBHI karena Dinilai Langgar HAM

foto/istimewa

Sekilas.co – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyampaikan kritik keras terhadap rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto. Menurut YLBHI, langkah tersebut bukan hanya bentuk pengkhianatan terhadap para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM), tetapi juga pengkhianatan terhadap semangat demokrasi dan reformasi yang lahir dari perjuangan rakyat Indonesia.

Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur, menegaskan bahwa gelar pahlawan nasional seharusnya diberikan kepada tokoh yang benar-benar memperjuangkan nilai-nilai kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan, dan kedaulatan rakyat, bukan kepada sosok yang memiliki rekam jejak otoriter.

Baca juga:

“Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bertentangan secara hukum dan HAM,” ujar Isnur dalam keterangan tertulis, Senin, 10 November 2025.

Isnur menjelaskan bahwa terdapat sedikitnya empat regulasi dan putusan Mahkamah Agung yang dilanggar apabila pemerintah tetap memberikan gelar tersebut kepada Soeharto. Pertama, Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 yang mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat di berbagai peristiwa kelam bangsa, termasuk tragedi 1965–1966, yang menurut YLBHI turut melibatkan tanggung jawab Soeharto.

Selain itu, Isnur menyinggung sejumlah peristiwa lain yang terjadi pada masa Orde Baru, seperti penembakan misterius 1982–1985, peristiwa Talangsari di Lampung tahun 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, serta penghilangan orang secara paksa 1997–1998, kerusuhan Mei 1998, hingga tragedi Trisakti dan Semanggi 1998.

Ia juga menegaskan bahwa Ketetapan MPR X/1998 telah mencatat berbagai penyimpangan selama masa pemerintahan Soeharto, termasuk penyalahgunaan kekuasaan, pelecehan hukum, dan pengabaian rasa keadilan masyarakat. Sementara TAP MPR XI/1998 menyoroti praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang melekat kuat pada rezim Orde Baru.

Lebih lanjut, Isnur menyebutkan putusan Mahkamah Agung Nomor 140 PK/Pdt/2015 yang menyatakan bahwa Yayasan Supersemar milik Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada negara sebesar US$ 315 juta atau sekitar Rp 4,4 triliun (berdasarkan kurs saat itu).

Menurutnya, rencana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto justru memperlihatkan bahwa pemerintahan di bawah Presiden Prabowo Subianto tengah menunjukkan arah kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi dan menyakiti hati rakyat.

“YLBHI mengecam keras pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto. Ini langkah yang mencederai reformasi dan menodai perjuangan korban pelanggaran HAM,” tegas Isnur.

Sementara itu, bertepatan dengan Hari Pahlawan, Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan mengumumkan sepuluh nama tokoh yang akan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional tahun 2025, dan Soeharto disebut masuk dalam daftar tersebut.

Menanggapi kritik publik, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyatakan bahwa pemberian gelar itu merupakan bentuk penghormatan kepada tokoh-tokoh yang dianggap telah berjasa besar bagi bangsa.

“Bagaimana pun juga, kami menghormati para pendahulu, terutama para pemimpin, yang telah memberikan jasa luar biasa terhadap bangsa dan negara,” kata Prasetyo usai menghadiri rapat terbatas di kediaman Prabowo di Kertanegara, Jakarta, Minggu, 9 November 2025.

Artikel Terkait