Sekilas.co – Ulya Niami Jamson, mewakili Melbourne Bergerak, menyatakan penolakan itu merupakan bentuk dukungan terhadap kelompok masyarakat sipil yang menentang gelar pahlawan untuk penguasa Orde Baru tersebut.
Melbourne Bergerak merupakan bagian dari Komite Internasional Indonesia Bergerak yang beranggotakan diaspora yang tersebar di 23 negara. “Kami mendukung penuh kawan-kawan yang akan berikan pernyataan pers di Tanah Air untuk tolak Soeharto jadi Pahlawan,” kata Pipin, sapaan akrab Ulya, kepada Tempo melalui aplikasi perpesanan WhatsApp, Senin, 3 November 2025.
Diaspora yang sebagian besar beranggotakan mahasiswa itu sebelumnya berunjuk rasa di gedung Konsulat Jenderal Republik Indonesia di 72 Queens Road, Melbourne VIC 3004, Australia, pada Hari Peringatan Sumpah Pemuda. Mereka juga menyerahkan maklumat yang berisi tuntutan agar Pemerintah Indonesia menjalankan supremasi sipil. Selain itu, mereka menyerukan solidaritas dengan gerakan masyarakat sipil di Tanah Air, termasuk menuntut pembebasan aktivis dan mahasiswa.
Penolakan gelar pahlawan terhadap Soeharto juga disuarakan berbagai kalangan di Tanah Air. Ita Fatia Nadia, salah satu inisiator gerakan penolakan Soeharto sebagai pahlawan, mengatakan bahwa mereka akan menggelar konferensi pers pada hari ini di Gedung YLBHI, Jakarta Pusat.
Menurut dia, ratusan akademisi, guru besar, aktivis demokrasi, aktivis antikorupsi dan hak asasi manusia, aktivis perempuan, serta aktivis serikat buruh telah menyatakan penolakan tersebut. Termasuk di dalamnya pejuang lingkungan hidup, ekonom, pengacara, seniman, dan sineas. Ada sekitar 300 orang yang menyatakan akan bergabung. “Aksi penolakan kami lakukan dengan mengirim surat desakan kepada Presiden Prabowo Subianto,” kata Ita.
Bedjo Untung, salah seorang korban tragedi 1965, turut menyuarakan keprihatinannya atas usulan menjadikan mantan Presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional. Menurut Bedjo, Soeharto tidak layak menjadi pahlawan karena telah mengakibatkan banyak orang tak bersalah menjadi korban kekerasan sejak proses kenaikannya menjadi presiden.
Bedjo, yang pernah diburu, dipenjara, dan dihukum kerja paksa oleh aparat karena dianggap simpatisan komunis pada awal pemerintahan Soeharto, menegaskan: “Soeharto tidak layak untuk diangkat sebagai pahlawan karena proses menjadikannya presiden berlumuran darah,” kata Bedjo di Kwitang, Jakarta Pusat, Senin, 3 November 2025.





