Sekilas.co – Isu bencana dan konflik politik mendominasi pemberitaan nasional pekan ini. Di Sumatera utara, hujan ekstrem memicu banjir dan tanah longsor; sementara di Jakarta, dinamika internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menarik perhatian banyak pihak. Di saat yang sama, program nasional makan bergizi gratis (MBG) memicu debat baru terkait potensi konflik kepentingan.
Sejak Senin 24 November 2025, banjir besar melanda wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Curah hujan dilaporkan mencapai 150–300 milimeter per jam, angka jauh di atas normal 5–10 milimeter per jam. Hingga hari kelima, data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan 238 korban jiwa meninggal dan lebih dari 12.000 keluarga harus mengungsi. Kerusakan juga meluas hingga kawasan konservasi, termasuk penemuan seekor gajah yang mati terperangkap kayu dan lumpur di Desa Meunasah Lhok, Kecamatan Meureudu, pada Sabtu, 29 November 2025.
Meski skala bencana tergolong besar, pemerintah belum menetapkan status “bencana nasional.” Hal ini memicu kritik dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat serta aktivis kemanusiaan. Mereka berpendapat bahwa penetapan status nasional akan mempercepat mobilisasi bantuan, termasuk pembukaan akses dana darurat. Menurut mereka, empati saja tidak cukup; diperlukan tindakan segera dengan kewenangan tertinggi.
Namun Kepala BNPB, Letnan Jenderal Suharyanto, menyatakan bahwa bencana ini masih dikategorikan sebagai “bencana daerah tingkat provinsi,” karena menurut pemerintah dampaknya belum memenuhi ambang batas nasional. Ia berpendapat bahwa persepsi “klimaks bencana” terbentuk akibat penyebaran informasi di media sosial. Menurutnya, situasi di banyak wilayah telah lebih terkendali setelah hujan berhenti.
Ketegangan di internal PBNU mencapai klimaks ketika Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) resmi diberhentikan sebagai ketua umum oleh Majelis Syuriyah pada 26 November 2025. Surat keputusan yang ditandatangani oleh ulama senior menuduh sejumlah kebijakan Gus Yahya mencoreng nama organisasi, antara lain dalam hal undangan narasumber yang dituding berkaitan dengan jaringan Zionisme internasional.
Menyikapi keputusan tersebut, PBNU segera menggelar konsolidasi dengan pengurus di tingkat provinsi. Namun, Gus Yahya menolak keputusan itu dengan menyatakan bahwa secara hukum ia masih berhak menyandang jabatan ketua umum. Ia bahkan mencopot sekretaris jenderal, Saifullah Yusuf (Gus Ipul), dan menunjuk Amin Said Husni sebagai pengganti, sehingga konflik internal makin tajam. Beberapa tokoh daerah pun mengingatkan agar persoalan ini tak dibawa ke ranah politik. “NU bukan organisasi politik,” tegas salah satu ulama.
Sebagai jalan keluar untuk memperoleh legitimasi, opsi mengadakan muktamar kembali makin menguat. Sementara itu, Rais Aam PBNU, Miftachul Akhyar, membentuk tim pencari fakta guna meluruskan silang informasi dan meredam gejolak.
Sementara itu, program MBG, yang dirancang untuk membantu pemenuhan gizi pelajar, santri, dan kelompok rentan, kini menghadapi polemik: sejumlah pengelola dapur MBG terbukti memiliki afiliasi politik. Menurut penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat 28 yayasan mitra MBG yang berhubungan dengan partai politik, dan setidaknya 43 individu di dalam yayasan-yayasan tersebut memiliki afiliasi partai. Dalam satu yayasan bisa ada lebih dari satu individu berlatar partai.
Sejumlah pihak menyerukan evaluasi menyeluruh, bukan penghentian, terhadap MBG. Mereka meminta transparansi distribusi, audit anggaran, dan pengawasan independen agar manfaat program tetap tepat sasaran dan tak diselewengkan untuk kepentingan politik.
Sorotan Berita Sepekan Banjir Sumatera Parah, Kisruh PBNU, Hingga Kasus MBG
Sekilas.co – Isu bencana dan konflik politik mendominasi pemberitaan nasional pekan ini. Di Sumatera utara, hujan ekstrem memicu banjir dan tanah longsor; sementara di Jakarta, dinamika internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menarik perhatian banyak pihak. Di saat yang sama, program nasional makan bergizi gratis (MBG) memicu debat baru terkait potensi konflik kepentingan.





