sekilas.co – Menteri Haji dan Umrah, Mochamad Irfan Yusuf, menegaskan bahwa pembagian kuota haji reguler melalui sistem daftar tunggu (waiting list) merupakan metode yang paling adil untuk diterapkan di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa mekanisme pembagian kuota berdasarkan waiting list juga selaras dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025.
“Peraturan baru ini memastikan setiap calon jemaah memiliki kesempatan berangkat secara lebih adil dan terukur, sesuai urutan waktu pendaftarannya,” ujarnya dalam keterangan resmi pada Senin, 16 November 2025. Sistem waiting list ini sebelumnya menuai kritik karena menyebabkan terjadinya penurunan kuota haji yang cukup besar di beberapa provinsi, sementara di provinsi lain justru mengalami peningkatan. Contohnya di Jawa Barat, kuota haji turun drastis dari 38.723 jemaah pada tahun sebelumnya menjadi 29.643 untuk tahun 2026.
Perubahan ini muncul karena mekanisme waiting list mengatur ulang pola pembagian kuota yang digunakan sebelumnya. Dalam sistem ini, pemerintah menentukan kuota berdasarkan jumlah pendaftar haji di seluruh daerah, di mana calon jemaah yang lebih awal mendaftar akan memperoleh giliran berangkat lebih cepat.
Sebelumnya, pola lama pembagian kuota haji didasarkan pada jumlah penduduk muslim di setiap provinsi. Artinya, provinsi dengan populasi muslim yang lebih besar otomatis memperoleh kuota lebih banyak.
Irfan menjelaskan bahwa pemerintah mengganti sistem tersebut karena pembagian kuota berdasarkan proporsi penduduk muslim memicu ketimpangan antardaerah. Provinsi dengan jumlah penduduk muslim tinggi bisa mendapat kuota besar meskipun jumlah pendaftarnya tidak banyak. Sebaliknya, provinsi dengan antrean pendaftar panjang harus terus menunggu tanpa kepastian.
Karena itu, pembagian kuota kini dialihkan menjadi berbasis waiting list. Kementerian Haji dan Umrah menggunakan data daftar tunggu nasional dari Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (SISKOHAT) sebagai acuan utama dalam menetapkan kuota haji 2026 M/1447 H.
Data ini merupakan daftar resmi calon jemaah haji reguler se-Indonesia, dengan batas waktu data per 16 September 2025, yang kemudian digunakan sebagai dasar penyusunan Kertas Kerja Perhitungan Kuota 2026.
Dalam kertas kerja tersebut, setiap provinsi memiliki data jumlah pendaftar aktif yang telah diverifikasi serta tercatat di SISKOHAT. Seluruh data tersebut dijumlahkan secara nasional menjadi 5.398.420 pendaftar dan digunakan untuk menentukan proporsi kuota tiap provinsi.
“Dengan formula ini, kuota setiap provinsi mencerminkan jumlah riil calon jemaah yang sudah mendaftar dan sedang menunggu keberangkatan, bukan sekadar berdasarkan besarnya populasi muslim,” ujarnya.
Perubahan mekanisme pembagian kuota ini mulai diterapkan pada 2026. Irfan mengakui bahwa kebijakan baru tersebut memang menimbulkan pergeseran besar: provinsi dengan antrean panjang menerima tambahan kuota yang cukup besar, sedangkan provinsi dengan jumlah pendaftar lebih sedikit mengalami penurunan.
Namun demikian, ia menegaskan bahwa perbedaan mencolok antara kuota 2025 dan 2026 di beberapa provinsi bukan disebabkan perubahan jumlah kuota nasional, melainkan akibat perubahan mendasar dalam rumus pembagiannya. “Kebijakan ini harus dipahami bukan sebagai ketidakstabilan, tetapi sebagai langkah menuju keadilan dan kepastian,” jelasnya.
Menteri Haji: Sistem Daftar Tunggu Dinilai Paling Adil untuk Pembagian Kuota
sekilas.co – Menteri Haji dan Umrah, Mochamad Irfan Yusuf, menegaskan bahwa pembagian kuota haji reguler melalui sistem daftar tunggu (waiting list) merupakan metode yang paling adil untuk diterapkan di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa mekanisme pembagian kuota berdasarkan waiting list juga selaras dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025.





