Ahli Perlindungan Anak Ungkap 6 Kejanggalan dalam Kasus Bom Rakitan SMAN 72

foto/istimewa

sekilas.co – Pemerhati anak dan pendidikan, Retno Listyarti, menilai terdapat beberapa kejanggalan dalam penanganan kasus ledakan bom rakitan di SMAN 72 Jakarta Utara. Kritik tersebut muncul setelah polisi menetapkan F, siswa yang masih berusia di bawah umur, sebagai satu-satunya tersangka dalam insiden yang terjadi pada Jumat, 7 November 2025.

Penetapan tersangka dilakukan pada Selasa, 11 November 2025 dengan dasar bahwa tindakan tersebut dilakukan F seorang diri dan tidak berkaitan dengan jaringan terorisme. Polisi menyatakan bahwa motif F hanya karena merasa kesepian. Pernyataan ini langsung dinilai terlalu tergesa-gesa oleh Retno.

Baca juga:

Retno menguraikan sedikitnya enam kejanggalan yang membuat klaim bahwa F bertindak sendirian menjadi sulit dipercaya. Pertama, motif kesepian yang dijadikan dasar penjelasan dinilai tidak cukup kuat. “Banyak remaja di Indonesia yang merasa kesepian atau terluka secara emosional, tetapi tidak sampai merakit bom,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada Jumat, 14 November 2025.

Kedua, kemampuan F merakit tujuh bom rakitan juga dianggap tidak masuk akal. F merupakan siswa jurusan IPS, sedangkan pembuatan bom memerlukan pengetahuan teknis dalam bidang kimia dan fisika. “Guru kimia saja belum tentu bisa membuat bom dengan daya ledak sebesar itu,” kata Retno. Ia menegaskan bahwa kemungkinan adanya pihak lain yang terlibat tidak boleh diabaikan.

Ketiga, F merupakan penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP), sehingga kecil kemungkinan ia dapat membeli sendiri bahan dan perlengkapan yang harganya tidak murah. Retno meminta polisi menelusuri sumber dana serta pihak yang mungkin memesan peralatan tersebut. “Seorang anak tidak bisa membeli bahan peledak. Pembelian secara online pun bisa ditelusuri,” ujar Retno.

Keempat, unggahan media sosial F menampilkan pose yang mirip dengan pelaku serangan sekolah di Eropa. Retno menilai hal ini seharusnya mendorong penyelidikan terhadap jejaring pertemanan, percakapan digital, DM, serta jejak digital lain yang dapat menunjukkan adanya pihak yang memengaruhi F.

Kelima, sejumlah teman F menyebut bahwa ia sudah memperlihatkan tanda-tanda perencanaan serangan melalui gambar suasana sekolah yang hancur dan bercak darah. Menurut Retno, gambar-gambar tersebut seharusnya menjadi dasar penyelidikan lebih mendalam terkait potensi paparan atau pengaruh dari pihak lain.

Keenam, narasi mengenai balas dendam terhadap para pembully juga dianggap tidak konsisten. Pada hari kejadian, sebagian besar siswa kelas XII—yang disebut sebagai target—justru tidak hadir karena baru selesai mengikuti Tes Kemampuan Akademik (TKA). “Lalu, sebenarnya kepada siapa peledakan itu ditujukan?” kata Retno.

Retno menegaskan bahwa F tetap harus diproses sesuai UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan memperoleh seluruh haknya sebagai anak yang berhadapan dengan hukum. Namun, ia menilai bahwa penyidikan tidak boleh berhenti hanya pada F.

“Pihak lain yang mungkin memanfaatkan anak ini harus diungkap. Hal ini penting untuk mencegah kejadian serupa serta melindungi anakanak lain di seluruh Indonesia,” ujarnya.

Artikel Terkait