Habib Nabiel Tegur Masyarakat Menghargai Artis Puluhan Juta, Tapi Meremehkan Kiai

foto/istimewa

sekilas.co – Ulama kharismatik Habib Nabiel Al Musawa mengaku sedih melihat kondisi dunia pesantren dan para kiai di Indonesia yang belakangan ini sering mendapat perlakuan tidak adil. Ia menilai bahwa situasi ini merupakan salah satu tanda datangnya akhir zaman, di mana banyak fitnah dan adu domba yang memecah belah umat.

Hal itu disampaikan Habib Nabiel dalam acara Tabligh Akbar dan Doa Bersama untuk Indonesia yang berlangsung di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, pada Jumat malam (17/10/2025). Dalam tausiyahnya yang disambut hangat ribuan jamaah, Habib Nabiel menyoroti berbagai fenomena sosial dan moral yang menurutnya mulai melenceng dari nilai-nilai Islam dan akhlak mulia.

Baca juga:

“Bahwa di akhir zaman ini banyak sekali adu domba dan hal-hal yang tidak baik. Baru-baru ini pesantren dipojokkan, kiai dipojokkan. Sedih kita mendengar hal seperti ini,” ujar Habib Nabiel Al Musawa dengan nada prihatin.

Habib Nabiel menilai, maraknya serangan terhadap lembaga keagamaan dan ulama adalah bentuk krisis adab dan penurunan rasa hormat terhadap guru. Ia menegaskan, pesantren telah berperan besar dalam membentuk generasi berakhlak, namun kini justru menjadi sasaran tudingan miring.

Lebih lanjut, Habib Nabiel menyoroti anggapan sebagian orang yang menyebut kiai sebagai sosok “feodal” hanya karena muridnya mencium tangan sebagai bentuk hormat. Padahal, tradisi tersebut merupakan warisan akhlak Islam yang menanamkan rasa takzim kepada guru.

“Orang cium tangan kepada istrinya dibilang romantis, tapi kalau murid cium tangan kiainya dibilang feodal. Ini gak beres, ini zaman terbalik,” tutur Habib Nabiel disambut seruan takbir para jamaah.

Menurut Habib Nabiel, penghormatan kepada guru, kiai, dan habib bukanlah bentuk pemujaan berlebihan, melainkan wujud dari adab yang diajarkan dalam Islam.

“Mana yang lebih utama, suami cium tangan istri atau murid cium tangan kepada kiainya, gurunya, habibnya? Tentu lebih utama kepada guru. Karena guru yang mengajarkan ilmu dan akhlak,” ujarnya menegaskan.

Tak hanya itu, Habib Nabiel juga menyinggung fenomena sosial yang menurutnya ironis. Banyak masyarakat yang rela mengeluarkan biaya besar untuk mengundang artis ke acara, namun ketika seorang kiai menerima pemberian sukarela dari jamaah, langsung dicap “mata duitan”.

“Ngundang artis puluhan juta dianggap biasa. Tapi ketika ada kiai dikasih sesuatu, langsung diributkan dan disebut mata duitan. Ini jelas adu domba di akhir zaman,” tegasnya.

Habib Nabiel menekankan, kiai bukanlah pedagang agama, melainkan pembimbing rohani yang mengabdikan hidup untuk menuntun umat. Pemberian dari jamaah kepada ulama, kata dia, adalah bentuk penghargaan dan rasa terima kasih, bukan transaksi ekonomi.

“Kalau seorang artis dibayar mahal karena menghibur, maka sudah sepantasnya seorang ulama juga dihormati karena membimbing umat menuju kebaikan. Jangan dibalik-balik logika seperti ini,” ucapnya.

Lebih jauh, Habib Nabiel mengajak umat Islam untuk tidak mudah terprovokasi oleh isu atau narasi yang melemahkan kedudukan para ulama. Ia menilai, banyak upaya halus yang berusaha memecah belah umat Islam melalui framing negatif terhadap pesantren dan tokoh agama.

“Inilah akhir zaman. Ketika yang benar disalahkan, yang salah dibenarkan. Ketika ulama direndahkan, dan orang-orang yang jauh dari nilai agama justru diagungkan. Kita harus hati-hati,” pesannya.

Acara Tabligh Akbar dan Doa Bersama untuk Indonesia di Monas tersebut dihadiri oleh ribuan jamaah dari berbagai daerah. Mereka datang untuk berzikir, mendengarkan tausiyah, dan mendoakan agar bangsa Indonesia senantiasa dijaga dari perpecahan serta fitnah akhir zaman.

Habib Nabiel menutup ceramahnya dengan ajakan kepada seluruh umat Islam agar tetap menjaga persatuan, akhlak, dan rasa hormat terhadap ulama.

“Jangan biarkan kita diadu domba. Mari hormati guru, doakan kiai, cintai pesantren. Karena dari merekalah ilmu dan cahaya Islam terus hidup,” tutup Habib Nabiel.

Artikel Terkait